Tuesday, February 11, 2014

Is Marriage Like Dating?

"If you marry for the right reasons, you will have a healthy relationship with your spouse...

Worry and take care about your own obligations and forget about your rights...

Expect only from Allah Ta'ala. If we put hopes only in creation, in things, they are going to disappoint you. Allah Azza wa Jalla teaches us in the Qur'an to only place hopes in Him."


Saturday, February 08, 2014

Mimpi Bertemu Nabi sallallaahu'alaihi wasallam

Oleh Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra

 Sebagai seorang Muslim sudah pasti ada pada dirinya perasaan cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Namun kadar rasa cinta tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Kata cinta bukan hanya hiasan kata-kata di bibir, tetapi harus dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari. Rasa cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam wajib dimiliki oleh setiap Muslim, bahkan melebihi cinta kepada orang tua, anak dan isteri.

 Allah berfirman: النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

 Nabi (itu) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. [al-Ahzab/33:6]

 Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

 عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

 Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:: "Tidaklah beriman salah seorang kalian sampai aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya." [Muttafaq `alaihi]

 Para Ulama menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam terbagi kepada dua tingkatan:

 Tingkat Pertama : Cinta yang wajib terdapat pada setiap pribadi Muslim. Ia merupakan dasar keimanan seseorang. Yaitu keridhaan menerima dengan sepenuh hati ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dengan disertai rasa cinta dan pengagungan, serta tidak mencari petunjuk di luar petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam . Kemudian menta'ati perintahnya, meninggalkan larangannya, mempercayai segala beritanya dan membela agamanya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

 Tingkat Kedua : Cinta yang melebihi dari tingkat sebelumnya. Yaitu cinta yang membawa kepada sikap yang menjadikan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai satu-satunya figur atau qudwah dalam segala segi kehidupan. Mulai dari menghidupkan sunnah-sunnah beliau, baik dalam bentuk kualitas maupun kuantitas. Demikian pula, dalam berakhlak dan budi pekerti terhadap keluarga, karib-kerabat, tetangga dan masyarakat. Sampai dalam hal adab-adab sehari-hari lainnya seperti dalam berpakaian, makanan-minum, buang hajat dan tidur. [1]

 Sifat-sifat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selalu hadir dalam benaknya dan senantiasa ia jadikan sebagai teladan dalam kehidupannya sehari-hari, hingga cinta tersebut membuatnya benar-benar rindu ingin bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan bersedia menebus perjumpaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dengan keluarga dan hartanya. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ « مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِى بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ »

 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Umatku yang amat sangat mencintaiku adalah manusia yang datang setelahku, salah seorang mereka berkeinginan seandainya ia dapat melihatku meskipun dengan (mengorbankan) keluarga dan hartanya".

 Salah seorang mengungkapkan perasaannya di hadapan al-Miqdâd bin al-Aswad, sebagaimana terdapat dalam kisah berikut:

 عَنْ جُبَيْرٍ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ قاَلَ جَلَسْنَا إِلَى الْمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يَوْماً فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ: طُوْبَىْ لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتاَرَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ لَوَدَدْناَ أَناَّ رَأَيْناَ مَا رَأَيْتَ وَشَهِدْناَ مَا شَهِدْتَ

 Jubair bin Nufair meriwayatkan dari bapaknya, ia berkata: " Pada suatu hari, kami duduk di dekat Miqdâd bin al-Aswad. Lalu seseorang lewat sambil berkata (kepada al-Miqdâd): "Kebaikanlah bagi dua mata ini yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam." (Jubair menanggapi): “Demi Allah, kami berkeinginan melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan". [HR Bukhâri dalam Adâbul Mufrad dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

 Barangkali perasaan seperti di atas banyak orang yang mengaku memilikinya, tetapi sikap dan tingkah lakunya sendiri sangat jauh berseberangan dengan apa yang diakuinya. Atau amalan-amalannya jauh dari sunnah, bahkan amat nyata bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam, penuh dengan kesyirikan dan bid'ah.

Tentu hal yang demikian sudah pasti menodai cintanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Karena rasa cinta harus diiringi dengan amalan yang sesuai dengan tata cara yang dicontohkan dan diajarakan serta dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Jika tidak demikian, tentu cintanya akan ditolak Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam, sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda beliau:

 عن عَائِشَةُ –رضي الله عنها- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ». رواه البخاري ومسلم.

 Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada di atasnya perintah kami, maka amalan tersebut ditolak"[Muttafaq `alaihi]

 Maka, jika cinta kita ingin diterima dan tidak ditolak, jalan satu-satunya adalah beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa shalat, dzikir, dll. Orang-orang yang benar-benar cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, sekalipun mata kepalanya tidak dapat melihat sifat fisik Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam secara nyata waktu di dunia, namun sifat-sifat, tuntunan dan ajaran beliau selalu hadir dalam pandangan mata hatinya; maka Allah k akan mengumpulkan orang tersebut bersama orang yang dicintainya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

 Dari `Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, lalu ia bertanya: "Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan ia tidak berjumpa dengan mereka?" Jawab Rasulullah: "Seorang manusia (akan dikumpulkan) bersama orang yang dicintainya" [Muttafaq `alaihi]

 Kadangkala seorang Mukmin yang memiliki rasa cinta dan rindu bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Allah memberi karunia kepadanya mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam waktu di dunia. Namun, bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sering disalah-gunakan oleh sebagian orang dalam mencapai maksud dan tujuan tertentu.

 Berbagai warna bentuk penyimpangan dalam masalah bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sering kita temui dalam kehidupan kita. Seperti ada yang mengaku mimpi bertemu Nabi dengan pengakuan dusta sebagai modal untuk mengelabui orang dan mencari popularitas di kalangan pengikutnya. Padahal, ia sama sekali tidak bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 Sebagian lagi, ada yang mengaku menerima ajaran tertentu atau metode baru dalam beribadah saat bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain mengaku mendapat do'a atau dzikir dan salawatan tertentu dalam mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan ada pula yang bermimpi sekedar melihat seseorang berpakaian serba putih dan pakai surban, sudah langsung diprediksi bahwa ia bermimpi melihat Nabi. Dan ada lagi yang melakukan wirid-wirid tertentu untuk bermimpi bertemu Nabi, padahal tidak pernah ada anjuran atau tuntunannya dalam syari'at. Atau menganggap orang yang mimpi bertemu Nabi berhak di klaim sebagai wali, serta dapat memberi berkah. Atau setelah bermimpi, mengaku bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga. 

Agar kita selamat dari penyimpangan-penyimpangan ini. Maka selayaknya kita menyimak penjelasan Ulama tentang hal ini. Oleh sebab itu, bahasan kali ini sengaja mengangkat seputar pembahasan mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

MUNGKINKAN MIMPI BERTEMU NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM? DAN APA HAKEKATNYA?

Mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah suatu hal yang mungkin dan bisa dialami oleh seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahîh. Berikut ini adalah hadits-hadits tersebut termasuk penjelasan Ulama dalam penjabarannya.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حَقًّا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

 Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka". [HR Bukhâri dan Muslim]

 Dalam hadits pertama ini terdapat beberapa penjelasan, di antaranya:

a. Seseorang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam mimpi, maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya.[2] Apabila ciri-ciri sifat fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam hadits-hadits shahîh. Jika ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai, para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini.

Sebagian Ulama berpendapat, bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan. Hal itu pertanda tentang kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi tersebut dalam hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat.

Sebagian Ulama lain berpendapat bahwa ia tidak melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam karena ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri sifat fisik Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Tetapi setan berupaya menipunya dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun setan tersebut tidak mampu menyerupai ciri-ciri sifat fisik Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, sebagian para Sahabat dan tabi'în jika ada seseorang mengaku mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan ciri-ciri sifat fisiknya.

Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Sirîn dalam ungkapan beliau: "Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam yang sebenarnya".[3] Sebagaimana Ibnu Hajar menyebutkan sebuah riwayat dengan sanad yang shahîh dari Ibnu Sirîn rahimahullah : "Apabila ada seseorang mengisahkan kepadanya bahwa ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin rahimahullah berkata: "Sebutkanlah padaku ciri sifat-sifat orang yang engkau lihat tersebut?" Jika orang tersebut menyebutkan sifat yang tidak dikenalnya, maka Ibnu Sirin rahimahullah katakan: "Sesungguhnya engkau tidak melihatnya". Berikutnya Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula riwayat dari Ibnu Abbas Radhyallahu anhu yang dengan sanad yang Jayyid; Ibnu Kulaib berkata: "Aku katakan pada Ibnu Abbâs: "Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam mimpi!" Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: "Sebutkanlah ciri sifat-sifatnya padaku!" Ibnu Kulaib berkata : "Aku sebutkan Hasan bin Ali, lalu aku serupakan dengannya." Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata : "Sungguh engkau telah melihatnya" " [4].

 b. Hadits ini menunjukkan tentang kesempurnaan bentuk sifat fisik jasmani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang sangat rupawan, sehingga setan tidak mampu untuk menyerupainya.[5] Kesempurnaan tersebut ditambah lagi dengan kemulian sifat-sifat rohani beliau. Tentu setan akan semakin tidak mungkin untuk meniru atau menyerupainya, karena bentuk asli jasmani setan sangat jelek. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla jadikan sebagai perumpamaan bagi pohon Zaqqum.[6] yang menjadi makannan penduduk Neraka. Demikian pula asli sifat rohaninya adalah sangat buruk pula, oleh sebab itu ia diberi nama setan, yang artinya dalam bahasa Arab: pembangkang/yang amat jauh dari nilai-nilai kebaikan.[7]

 c. Penggalan akhir dari hadits di atas terdapat larangan sekaligus ancaman bagi orang yang berbohong atau berdusta dalam hal mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menutup hadits tentang mimpi tersebut dengan sabda beliau "Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka".

PENGAKUAN BERTEMU NABI DALAM KEADAAN TERJAGA (BANGUN).

Sebagian dari orang-orang sufi menganggap bahwa mereka bisa melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar (terjaga). Dan ikut menghadiri perayaan maulid bersama mereka. Keyakinan ini adalah keyakinan yang batil lagi sesat, sangat bertolak belakang dengan al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam serta ijmâ’ para Ulama. Mereka menyandarkan pandangan mereka pada hadits berikut:

 عَنْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ

 Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: "Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak mampu menyerupaiku". Imam Bukhâri setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Ibnu Sîrîn berkata: "Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa yang sebenarnya"".

 Dalam hadits kedua ini terdapat tambahan penjelasan dari hadits yang pertama, yaitu kalimat: فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ)) : "Maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga".

 Para Ulama menerangkan maksud dari hadits tersebut dengan beberapa penjelasan:

 Pertama: Yang dimaksud adalah orang yang hidup di masa beliau tetapi belum pernah berjumpa dengan beliau. Jika ia bermimpi bertemu Nabi , maka mimpi tersebut akan menjadi kenyataan.

 Kedua: Yang dimaksud, ia akan berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pertemuan yang khusus di akhirat kelak. atau ia adalah di antara orang yang akan memperoleh syafa`at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak.

 Ketiga: Yang dimkasud, mimpi orang tersebut akan terbukti di akhirat kelak, sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi tersebut. Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah : "Ini adalah bagaikan kabar gembira bagi orang yang melihatnya, bahwa dia akan berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampada hari kiamat." [8].

 Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam menjelaskan maksud hadits tersebut ada beberapa pendapat:

 Pertama: Yang dimaksud adalah orang yang hidup pada masanya. Artinya, barangsiapa yang melihatnya dalam mimpi sedangkan ia belum berhijrah; maka Allah memberi taufik kepadanya untuk berhijrah dan bertemu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nyata dalam keadaan terjaga.

 Kedua: Dia akan melihat kenyataan mimpinya tersebut dalam keadaan terjaga pada hari kiamat, karena semua umatnya akan melihatnya pada hari kiamat.

Ketiga: Dia akan melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampada hari akhirat secara khusus dalam keadaan dekat dan mendapat syafa`atnya atau yang semisalnya”.[9]

 Al-Qisthallâny mengatakan : "Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga", artinya pada hari secara khusus dalam keadaan dekat dengannya. Atau orang yang melihatku dalam mimpi dan ia belum berhijrah, Allah memberi taufik kepadanya untuk berhijrah kepadaku dan mendapat kemulian menjumpaiku. Allah Azza wa Jalla menjadikan mimpinya sebagai pertanda akan melihatku dalam keadaan terjaga.

Menurut pendapat yang pertama, di dalamnya terdapat kabar gembira bagi orang yang bermimpi bahwa ia akan mati dalam keadaan Muslim”.[10] Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ia benar-benar akan berjumpa dalam keadaan terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamwafat adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat. Pendapat ini ditolak dan dibantah dengan tegas oleh para Ulama Ahlussunnah.

 Imam al-Qurthûbi rahimahullah berkata: "Dalam makna hadits ini terdapat perbedaan; sebagian berpendapat sebagaimana lahirnya, yaitu barangsiapa yang melihat dalam mimpi, maka ia telah melihat secara hakiki sama seperti orang melihatnya di waktu terjaga. Pendapat ini dapat diketahui kekeliruannya dengan dalil akal yang mengharuskan:

 1. Bahwa, tidak seorang pun yang melihatnya melainkan dalam bentuk saat beliau meninggal.

 2. Tidak mungkin ada dua orang yang mimpi melihatnya dalam waktu yang sama dalam dua tempat.

 3. Bahwa ia hidup keluar dari kuburnya dan berjalan di pasar serta berbicara dengan manusia.

 4. Bahwa kuburnya kosong dari jasadnya, sehingga tidak tertinggal sesuatu dalamnya, maka yang diziarahi hanya kubur semata (tanpa jasad) dan memberi salam kepada sesuatu tidak ada. Karena ia bisa dilihat di sepanjang waktu; pagi dan sore secara hakiki di luar kuburnya. Pendapat ini adalah kebodohan, tidak akan berpegang dengannya siapa saja yang memiliki sedikit akal sehat”.[11]

 Abu Bakar Ibnu al-Arabi rahimahullah berkata: “Sebagian orang shaleh berpendapat asing (ganjil), ia mengira bahwa bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambisa terjadi dengan melihat dengan kedua mata kepala secara nyata”.[12]

 Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Melihat para Nabi dalam mimpi adalah haq (benar). Adapun melihat orang yang sudah mati dalam keadaan terjaga, maka ini adalah jin yang menjelma dalam bentuknya. Sebagaimana setan kadangkala menjelma dalam mimpi dalam bentuk seseorang.

Bahkan, kadangkala dalam keadaan terjaga yang dapat dilihat orang banyak; sehingga menyesatkan bagi sebagian orang yang tidak mempunyai ilmu dan iman. Seperti terjadi di kalangan kaum musyrik India dan lainnya. Apabila ada seseorang meninggal, maka setelah itu mereka melihatnya membayar hutang, mengembalikan titipan dan menceritakan tentang orang-orang mati di antara mereka. Sesungguhnya itu adalah setan yang menjelma dalam bentuknya.

Kadangkala ia datang dalam bentuk orang shaleh yang mereka kagumi. Dan ia berkata: ”Saya adalah si Fulan."; padahal sebenarnya ia adalah setan. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihat dengan benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”.

 Maka melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar adanya, adapun melihatnya dalam keadaan terjaga, maka ia tidak mungkin bisa dilihat dengan mata. Sama adanya, baik itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri maupun orang-orang lain yang sudah mati. Sekalipun kebanyakan dari manusia kadangkala melihat sesorang yang menurut prasangkanya adalah Nabi di antara para nabi. Kadangkala dekat kuburannya atau dijauh dari kuburannya”.[13]

 Syaikh Abdul Muhsin al-'Abâd berkata: “Hal ini mengandung dua kemungkinan,

Pertama, seseorang yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia belum pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan memudahkan baginya untuk bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhijrah kepadanya. Kemudian akan melihat apa dengan nyata apa yang dilihatnya dalam mimpinya tersebut...”[14].

 Dari penjelasan para Ulama di atas dapat kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan seseorang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambenar-benar akan berjumpa dalam keadaan terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan firman Allah Azza wa Jalla :

 إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ 

Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).[ az-Zumar/39:30] Dan firman Allah:

 وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا

 Tiadalah Muhammad itu melainkan seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun”.[ali Imran/3:144]

 Dua ayat di atas dengan tegas menerangkan tentang kematian Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.

Seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat. Ia tidak akan bangkit dari kuburnya kecuali setelah hari kiamat. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam kembali ke dunia sebelum hari kiamat dan bertemu dengan orang-orang tertentu, ini adalah keyakinan yang sesat sekali. Bahkan sama dengan akidah reinkarnasi yang diyakini orang-orang Hindu.

 Tatkala membacakan salah satu dari ayat di atas Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:

 فَمَنْ كَان َمِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ

 Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati. [HR Bukhâri]

 Pendapat tersebut juga bertentangan dengan hadits Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ »

 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda : “Saya adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama dibangkit dari kuburnya dan orang yang pertama memberi syafaat.” [HR Muslim]

 Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kuburnya kecuali setelah terjadinya hari kiamat dan seluruh manusia dibangkitkan dari kuburnya. Pendapat yang mengatakan bahwa ia berjumpa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga, mengharuskan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam hidup dan keluar dari kuburnya, bahkan secara berkali-kali; kesesatan dan kebatilan pendapat tersebut amat nyata bagi orang yang punya ilmu dan iman.

Sebagian orang berdalil dengan hadits:

 اْلأَنْبِياَءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

 Para nabi itu hidup dalam kuburan mereka, mereka shalat.[HR Abu Ya`la dan al-Bazzâr dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Ash-Shahîhah]

 Jawabannya adalah:

Pertama: Bahwa kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan alam Barzakh yang hakikat dan bentuknya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Azza wa Jalla. Mengatakan bahwa mereka hidup seperti di dunia adalah suatu hal yang batil, sebab alam Barzakh tidak sama dengan alam dunia dalam segala segi. 

Kedua: Dalam hadits tersebut secara jelas dan tegas menyebutkan mereka hidup dalam kubur, bukan hidup dan keluar ke dunia. Jika dipahami mereka hidup dan keluar ke dunia, maka ini suatu penyimpangan terhadap lafazh makna hadits tersebut.

 Ketiga: Tidak pernah dinukilkan atau diriwayatkan dari seorang pun dari Sahabat maupun para Ulama terkemuka umat ini bahwa mereka berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga setelah beliau wafat. Bahkan di antara mereka ada yang bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak pernah mereka mengaku bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan bangun (terjaga). Sedangkan para Sahabat adalah orang yang paling dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang paling cinta kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam.

 Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ”Jika seandainya ada orang yang melihatnya di waktu terjaga, tentu ia termasuk Sahabat. Berarti penilaian sebagai Sahabat tetap berlangsung sampai hari kiamat. Hal ini menjadi terbukti keliru sekali, ketika banyak yang mimpi bertemu tetapi tidak seorang pun mengaku berjumpa dalam keadaan sadar (bangun)”.[15]

 APAKAH ADA KIAT-KIAT TERTENTU AGAR BERMIMPI BERTEMU NABI MUHAMMAD?

 Di antara sebagian orang ada yang melakukan dzikir-dzikir tertentu agar bisa bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tuntunan tersebut tidak ada diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perbuatan tersebut adalah termasuk membuat perkara yang baru dalam agama. Para Ulama salaf yang pernah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dzikir ataupun ibadah-ibadah tertentu.

 APAKAH MIMPI BERTEMU NABI MUHAMMAD PERTANDA ORANG TERSEBUT SHALIH?

Bentuk lain dari kesalah-pahaman dalam masalah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menganggap setiap orang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memiliki keistimewaan yang luar biasa. Bahkan kadangkala meyakini orang tersebut sebagai wali, yang bisa mengobati dan memberi berkah.

Namun, bila melihat penjelasan Ulama sebagaimana telah diuraikan di atas, maka bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilki dua bentuk yaitu adakala sebagai bisyârah (harapan baik); dan adakalanya sebagai peringatan (indzâr), sehingga tidak mutlak senantiasa sebagai bisyârah.

 Al-Mu’allimi berkata: “Sesungguhnya para Ulama bersepakat bahwa sesungguhnya mimpi tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi ia hanya sebatas sebagai harapan baik (bisyârah), dan peringatan (tanbîh). Dan juga bisa sebagai dalil pendukung jika bersesuaian dengan hujjah syar’iyah (agama)”[16].

 Demikian, pembahasan sekilas tentang mimpi bertemu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

 _______

Footnote
[1]. Lihat "Huqûqun Nabi Bainal Ijlâl Wal Ikhlâl", Faishal al 'Abdâny: 67
[2]. Ditegaskan dalam riwayat lain: قَالَ أَبُوْ قَتاَدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( مَنْ رَآنِيْ فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ ) رَوَاهُ الْبُخَارِيْ وَمُسْلِمٌ Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang melihatku (mimpi), maka sungguh ia benar-benar telah melihat".
[3]. Lihat Shahîhul-Bukhâri: 6/2567.
[4]. Lihat, Fathul Bâri: 12/384.
[5]. Penegasan bahwa setan tidak mampu menyerupai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan dengan lafazh yang berbeda-beda, akan tetapi maknanya saling berdekatan:
 (فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَكَوَّنُنِيْ)، (فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِيْ)، (وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانَ بِيْ )، (وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَىْ بِيْ)، (فَإِنَّهُ لاَ يَنْبَغِى لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِيْ) وَهِيَ فِيْ صَحِيْحَيْنِ أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا
[6]. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.[ash-Shaffat/37:65]
[7]. Lihat Mu'jam Maqâyîsil Lughah 3/184. dan Al-Mu'jamul Wasîth 1/483.
[8]. Lihat Kasyful al-Musykil 1/912.
[9]. Lihat Syarah Imam Nawawi:15/26.
[10]. Di nukil dalam kitab `Aunul Ma’bûd:13/249.
[11]. Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.
[12]. Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.
[13]. Lihat Al-Jawâbus Shahîh 4/15.
[14]. Lihat Syarah Sunah Abu Dâwud 28/426.
[15]. Lihat Fathul Bâri:12/285.
[16]. Lihat At-Tankîl:2/243.

source: http://almanhaj.or.id/content/3405/slash/0/mimpi-bertemu-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

Thursday, February 06, 2014

Two Basic Conditions

Today I chanced upon a small booklet which says "(Surah) Yasin's Virtue" on its cover written in arabic. The writer is someone unknown and after the author's name, the word Makkah Al-Mukarramah was printed, indicating it was from Makkah.

The following is its introduction.

"Special procedure in reciting Surah Yasin virtue

Before reciting Surah Yaaseen's virtue, one must firstly utter the Shahadah, "Ash hadu an laa ilaaha illallaah wa ash hadu annaa Muhammadarrasuulullah". Then recite "Bismillaahirrahmaanirraheem", then recite Al-Fatihah for Rasullullaah SAW once, then recite Al-Fatihah for Sayyidina Khidir 'alaihissalaam once, then recite Al-Fatihah for the soul of Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani. Then request blessings from Allah to grant what one is asking for. The mode of request should be as follows "Oh Allah I pray to you tonight by reciting Surah Yaasin's Virtue on behalf of so-and-so in the hope that he or she recovers from his or her sickness" or other requests in the hope that with the recitation of it would bring blessings and grant the requests.

In this "Yaaseen's Virtue" there are a few verses denoting "X" where one should pause and seek Allah's blessings while at the same time, uttering the name of the person to whom one is reciting for and this should be repeated for all 8 "X" stopping places. Then continue with the seven recitations after Surah Yaseen.

Note: If one is reciting alone, one must recite seven times. If there are seven people reciting, it is sufficient for each to recite only once. And one should know the date of birth of the person whom one is reciting for. If his/her date of birth is unknown, then one must recite for seven nights consecutively. -end-"

...................................................................

1. Upon browsing its contents, I realized that the booklet is not just Surah Yasin by itself but Surah Yaseen that has been interjected with additional non-hadeeth related recitations of dhikr and supplications at different points of the Surah.

2. It is a booklet probably with the sole purpose of seeking Allah's blessings and help for one's needs.

3. Just to remind myself and also others in sha Allah. For the acceptance of righteous deeds and this includes, dhikr, supplications, reading the Qur'an seeking blessings and cure from it, it is stipulated that the following two basic conditions must be fulfilled:

a) The intentions while doing such deeds must be totally for Allah's sake only without any show-off to gain praise or fame.

b) Such a deed must be performed in accordance with the Sunnah of Allaah's Messenger (sallallaahu'alaihi wasallam), the last of the Prophets and Messengers.

The proof in this regard is many some of them are as follows, Allaah Almighty says in the Qur'an:

{"So whoever hopes to see His Lord and be rewarded by Him, then let him make his worship correct and make it purely and sincerely for Him; and let him not make any share of it for anyone other than Him."} [Soorah al-Kahf (18):11O]

{"And obey Allaah and obey the Messenger that you may receive Allaah’s Mercy, and hasten to forgiveness from your Lord and to Paradise whose width is that of the heavens and the earth, prepared for the pious who are obedient to Allaah."} [Soorah Aal-'Imraan (3): 132-133]

{"So whoever obeys Allaah and His Messenger, by submitting to their commands and being pleased with their judgement, and withholding from what they forbid, then he is with those whom Allaah has blessed with guidance and obedience in this world and with Paradise in the Hereafter, with the prophets, their sincere followers who were upon their way, the martyrs, and the righteous; and what an excellent companionship in Paradise are they."} [Soorah an-Nisaa (4):69]

{"And whoever obeys Allaah and His Messenger has achieved the greatest success."} [Soorah al-Ahzaab (33):71]

4. While I'm sure the people who would use the booklet mentioned above are sincere and have good pure intentions to seek Allah's blessings, thus meeting condition "a", what about condition "b"?

5. If only sincerity and good intentions are sufficient for righteous deeds to be accepted, then this would include all other forms of religion. I'm sure people of other religion do the righteous deeds that their religion teaches them to perform, with full sincerity and good intentions hoping for good blessings as a result of their actions. No sane person would do as such to be damned and condemned.

6. With regards to the booklet and the "special instructions" in it, we can put forward a simple question to see if it complies with condition "b".

"What is the proof that it is from our Prophet Muhammad sallallaahu'alaihi wasallam?"

For each and every specific instructions to perform a good deed, it must be backed with a proof that it is what Rasulullaah sallallaahu'alahi wasallam have taught. This is also the case for specific virtues of any surah from the Qu'ran.

7. We can also take note of the usage of intermediaries to seek blessings as instructed in the booklet. "then recite Al-Fatihah for Rasullullaah SAW once, then recite Al-Fatihah for Sayyidina Khidir 'alaihissalaam once, then recite Al-Fatihah for the soul of Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani." This is a form of intermediary that has no basis in Islam.

When we want to ask from Allah, it suffices for us to seek it directly from Allah. Allah Ta'ala says in the Qur'an:

{"And when My servants ask you (O Muhammad concerning Me, then answer them), I am indeed near (to them by My knowledge). I respond to the invocations of the supplicant when he calls on Me (without any mediator or intercessor). So let them obey Me and believe in Me, so that they may be led aright."} [Soorah Al-Baqarah 2:186]

{"Your Lord says: O people, invoke Me and supplicate to Me making your worship sincerely for Me alone, and I will answer you, and pardon you and have mercy upon you..."} [Soorah Ghaafir (40):60]

This is also as taught by our Prophet sallallaahu'alaihi wasallam in the following hadeeth:

Narrated Ibn 'Abbas (radhiallaahu 'anhuma): Once I was behind the Prophet (sallallaahu'alaihi wasallam) and he said: ((O boy, I will teach you a few words: Be loyal and obedient to Allah [worship Him (Alone)], remember Him always, obey His Orders. He will save you from every evil and will take care of you in all the spheres of life. Be loyal and obedient to Allah, you will find Him near [(in front of you), i.e. He will respond your requests]. If you ask, ask Allah. If you seek help, seek help from Allah....))] [Sahih At-Tirmidhi]

9. There are many booklets and books available that promotes righteous acts, deeds, dhikr and supplications that complies with how our Prophet sallallaahu'alaihi wassalam taught us. One of them is the popular booklet called "Hisnul Muslim" or translated as "Fortress of the Muslim". We should try our best to utilize such books that are readily available for our references in performing good deeds which comply with his teachings and avoid those with vague and unclear references.

Allah Almighty knows best.

Friday, January 24, 2014

Child born out of wedlock has no sin upon him

Question: Does Islam look with disfavor upon a child born of fornication or adultery – an illegitimate child? I heard that there is a hadîth to the effect that such a child is disfavored? Is this true?

 Answered by: Sheikh al-Sharif Hatim al-Awni

An indisputable tenet of our Islamic faith is that no person will share in the sin of another unless that person was directly involved in encouraging or assisting the other person to commit the sin.

 Allah says: “That no soul shall bear the burden of another and that a person shall have nothing but what he strives for” [Sûrah al-Najm: 38-39]

 Allah says: “On no soul does Allah place a burden greater than it can bear. It shall have the good that it earns, and against it shall be the ill that it earns.” [Sûrah al-Baqarah: 286]

 He also says “They were a people who have gone before. They shall have the fruits of what they earned and you shall have the fruits of what you earn, and you will not be asked about what they used to do.” [Sûrah al-Baqarah: 134 and 141]

 For this reason, it is authentically related that `A’ishah said regarding the child born of adultery: “He shares in nothing of the sin of his parents, for Allah says ‘no soul shall bear the burden of another’.” [Musannaf `Abd al-Razzâq (13860,13861) and Musannaf Ibn `Abî Shaybah (12543)]

 It is also authentically related from Ibn `Abbâs that upon hearing someone say ‘The child of adultery is the worst of the three parties’, that he severely condemned the statement and said: “If he were the worst of the three parties, then the punishment of his mother would not be postponed until after he is born.” [Ibn `Abd al-Barr, al-Tamhîd (24/135-136) and al-Istidhkâr (23/175)]

 Ibn `Abbâs also said: “He is the best of the three parties.” [Musannaf `Abd al-Razzâq (13863)]

 The statement “The child of adultery is the worst of the three parties” is a hadîth. However, it is extremely weak, as stated by Ibn al-Jawzî in al-`Ilal al-Mutanâhiyah (1282-1283).

 As for the hadîth: “The child of illicit sexual intercourse shall not enter Paradise”, I am aware of no authentic chain of transmission for it. All of its lines of transmission are defective. This is in spite of some scholars declaring it to be an authentic hadîth, like Ibn Hibbân [Sahîh Ibn Hibbân (3383,3384)] and al-Albâni [Silsilah al-Ahâdîth al-Sahîhah (673)]

 Ibn al-Jawzî declared the hadîth to be a fabrication [al-Mawdû`ât (1561-1566)] Al-Dâraqûtnî ruled that the hadîth is inconsistent. Ibn Hajar al-`Asqalânî declared it to be weak. A thorough discussion about the matter would be lengthy.

 Scholars agree that if even if the hadîth were to be construed as authentic, it is not to be taken on its apparent meaning, because it contradicts the indisputable tenet of our faith that no soul shall bear the sin of another. Those who accepted the hadîth have offered numerous possible interpretations for it.

 Possibly the best of these interpretations is the one suggested by al-Tahâwî in Bayân Mushkil al-Ahâdîth (2/372-373)] he points out that the phrase “child of illicit sexual intercourse” refers to someone who commits illicit sexual intercourse so often and so habitually as to have the action attributed to him.

 Al-Tahâwî points out that this is an established convention of the Arabic language. People who are consumed with their worldly affairs are called “children of the world” and a traveler is referred to in Arabic “a child of the road”. Al-Tahâwî then cites certain verses of classical poetry as linguistic evidence for this usage of the phrase “child of illicit sexual intercourse” (walad al-zanyah).

 And Allah knows best.

 ------------------------

 Question: If a man and a woman commit adultery and a child is born as a result, is that child cursed?

 Answered by: Sheikh `Abd al-Wahhâb al-Turayrî, former Professor at al-Imâm University

 The idea that an innocent child would be cursed is diametrically opposed to Islamic teachings.

Allah says: “No soul shall bear the burden of another.” [Sûrah al-Najm: 38]

 Each child is born innocent and guiltless. How could Allah curse a child who has done nothing wrong? The child had nothing to do with what his father or mother did. The sin is entirely that of the parents. There is no sin whatsoever on the child. The child may not be called a “bastard”. He may not even be referred to as “illegitimate” with the intention to derogate him.

Source: en.islamtoday.net

Friday, January 17, 2014

A brief history on Sufism and the life of Imam Junaid Al-Baghdadi

An unbiased view of the history of Sufism and how it evolved. The speaker, Dr. Muhammad Musa Al-Shareef also relates the life of a great scholar and Imam, Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (830-910 AD)

 

Some important points from the video..

 The first phase of Sufism (at the beginning of third century A.H.) was praised by most early scholars. They also praised those early Sufis who were influential in the first phase and those who followed in their footsteps. Those early Sufis were highly regarded by scholars such as Ibn Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, Imam Adh-Dzahabi and Imam ibn Kathir and many others.

 They praised those Sufis as they were at the height of asceticism, piousness, devoutness, righteousness and they adhered to the Qur'an and Sunnah. They stuck to the pure Islamic principles.

 The most famous figure in the first phase of Sufism was AlJunied. One of the greatest achievements of Imam Junaid al-Baghdadi was that he set rules for religious practices and made them constrained by the Qur'an and Prophet Muhammad's traditions(Sunnah).

 For example, Aljunied was asked about those who reject religious obligations; these people belonged to the Batiniyyah sect. The Batiniyyah sect caused Muslims much harm as they were disbelievers in the guise of Muslims. They claimed that after attaining a high rank of religiousness, asceticism, piety, remembrance of God and prayer, they would not have to fulfill all religious obligations believing they had drawn close enough to God. And this is a famous sect, that is why some Orientalist scholars and others found some aspects in common between Sufism and Brahmanism as Brahmans claim that one can give up religious duties after attaining a high level of piety. Anyway, al-Junaid commented on that with an excellent saying. He said,"Yes they have reached a "state", but only one which leads to the Hell-Fire!" because one who believes as such, is a disbeliever as the Muslim scholars had also unanimously agreed upon, because rejecting religious obligations has nothing to do with Islam at all! As Allah Almighty says,{"Worship your Lord till certainty(death) comes.."}.

 The early teachings of Al-Junied refuted the claims of those Batiniyyahs who belonged to the third phase of Sufism where the principles of Batiniyyah, Shiism and Sufism became interrelated, namely in the tenth century A.H. and after, and this is a peril to Muslims.

Those adopting these views(teaching and spreading them) probably did not mean harm to Muslims but the reality is that some infidels manipulated Sufis and Shiism to harm Muslims and thus many Sufi teachings thereafter cannot be understood unless we are aware of the issue of Batiniyyah and its influences on some aspects of Sufism.

And so Aljunied's greatest achivement was cutting off the ideas of Batini infidels and making Sufi practices constrained by and tied to the Qur'an and Sunnah and we're thankful for that rahimahullaahu ta'ala.

Shaykhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullaah said (mentioned two extreme views regarding Sufism)

 1) that there exist religious learned scholars who would undervalue all Sufi worshipers and consider them all ignorant and deluded

 2) that there exist Sufis who disregarded Islamic Law and knowledge thinking that Islamic Law and knowledge stood in their way to God.

 And he said that the correct position is that whatever with regards to Sufism that was based on the Qur'an and Sunnah was true and whatever that contradicted the Qur'an and Sunnah is false. This indeed a golden saying!

 Dr Muhammad Musa then recalled that he once met Shaykh Abdul Azeez ibn Baz and told him that there was an attack on everything that was related to Sufism and Sufis and he asked the Shaykh whether we were to regard them as Ibn Taimiyyah had done. And Shaykh ibn Baz repeated his answer twice or thrice,"This is also my view, this is also my view!" (That he adopted the view of ibn Taimiyyah on Sufism.)

He meant that Sufis were a Muslim sect, some of whom were good, some were evil; some devout and ascetic and some deluded making innovations in Islam and he added that one should adopt the sound religious views of the Sufis and give up their false ones.

 And this applies to all Islamic sects, not only Sufis. This was a fair stance by the late Shaykh Abdul Azeez ibn Baz rahimahullah following the views of Shaykhul Islam Ibn Taimiyyah.

And Allah Almighty knows best.

Wednesday, January 01, 2014

Virtues of Reading Soorah Al-Mulk every night, reflecting upon its lessons and acting in accordance with its rulings.

It was narrated from Abu Hurayrah that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “A soorah from the Qur’aan containing thirty verses will intercede for a man so that he will be forgiven. It is the soorah Tabaarak Alathi bi yadihi’l-mulk [i.e., Soorat al-Mulk].”

 [Narrated by al-Tirmidhi, 2891; Abu Dawood, 1400; Ibn Maajah, 3786.]

Al-Tirmidhi said, this is a hasan hadeeth. It was classed as saheeh by Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah in Majmoo’ al-Fataawa, 22/277, and by Shaykh al-Albaani in Saheeh Ibn Maajah, 3053.

What is meant is that a person should read it every night, act in accordance with the rulings contained in it, and believe in the information mentioned in it. 

It was narrated that ‘Abd-Allaah ibn Mas’ood said: Whoever reads Tabaarak allaahi bi yadihi’l-mulk [i.e., Soorat al-Mulk] every night, Allaah will protect him from the torment of the grave. At the time of the Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) we used to call it al-maani’ah (that which protects).

In the Book of Allaah it is a soorah which, whoever recites it every night has done very well. [Narrated by al-Nasaa’i, 6/179; classed as hasan by al-Albaani in Saheeh al-Targheeb wa’l-Tarheeb, 1475.]

The scholars of the Standing Committee said: On this basis there is the hope that whoever believes in this soorah and reads it regularly, seeking the pleasure of Allaah, learning the lessons contained in it and acting in accordance with the rulings contained therein, it will intercede for him [in the Hereafter]. [Fataawa al-Lajnah al-Daa’imah, 4/334, 335] And Allaah knows best. [source: islamqa.info]